Pernah
lihat pentil jambu kelutuk? Umumnya pentil jambu berwarna hijau, namun
ada juga yang berwarna hitam tanpa proses memerah terlebih dahulu.
Seperti bule-bule yang berjemur di pinggiran pantai. (pikir aja sendiri
apa hubungannya?)
Kenapa
pentil jambu itu langsung berwarna hitam? Jawabnya “busuk sebelum
matang”. Ya…, pentil jambu malang itu mengalami penuaan dini, sama
seperti bocah lima tahun yang pernah kutemui. Aksinya membuatku memiliki
gejala-gejala penyakit kanker stadium golara bung karno. Bisa jadi itu
juga akan mempengaruhi proses pengembangbiakan kutu-kutu di kepala
botakku.
Sebut
saja namanya Kaysan, bocah hyperaktif itu adalah penyumbang terbesar
imigran gelap kutu-kutu di kepala botakku. Usianya tergolong masih dalam
lindungan Kak Seto, tapi daya fikirnya terkadang bisa membuat orang
tuanya membayar Rp. 15.000,- untuk sekali pangkas. (kebayangkan?)
Sore
itu, aku dan teman-teman berkunjung kerumahnya. Belum lagi sempat
duduk, dia telah berhasil membongkar isi dompet temanku. Ya…, tangisnya
berhasil memunculkan duri-duri di sofa hijau tosca yang langsung hilang
ketika selembaran goceng mendarat dikeningnya. Aku, yang merasa melihat
diri sendiri ketika kecil, merasa bertanggung jawab.
“Ayo dek, jajan sama abang!” ajakku, seraya mengembangkan jubah tak terlihat. (baca: Suparman)
Kaysan
yang nafsu jajannya sudah diujung kuku, langsung menarik tanganku tanpa
membersihkan ingus yang meleleh. Sama sekali tidak terpikir, inilah
awal gejala kanker itu akan bersarang.
“Adek, mau jajan apa?” Ucapku menawarkan padanya
“Ice cream bang.”
Kubuka
kulkas es cream tersebut dan menggendongnya untuk memilih es
kesukaannya. Ahhh…, ingus yang masih menggantung tadi pun jatuh diatara
tumpukan es cream tersebut. Bagaikan es yang meleleh karena panasnya
matahari, ingus itupun perlahan masuk disela-sela tumpukan es.
“Ayo dek, pilih esnya!” Ucapku buru-buru, sebelum gelagat mencurigakan ini terlihat oleh satpam.
“Satu aja nih dek, abang kamu gak dibeliin?”
“Gak usah bang, mas gak suka es. Lagian ini dah malam, nanti mas sakit kalau minum es”
“Nah…loe sendiri apaan tuh namanya, tahu sakit masih aja loe beli es cream.” umpat ku dalam hati.
“Apa lagi, Dek jajannya?”
“Hemmm… ini ya, Bang!” ucapnya sambil menunjuk sebuah jajanan yang lumayan harganya.
“Ya udah ambil, Dek! Dua ya, satu untuk mas kamu.”
“Gak usah bang, nanti uang abang abis.”
“What...!!! pengertian juga nih bocah”
“Lagian tadi adek nangis, mas malah ngetawain adek. Jadi mas gak usah dibeliin, Bang!”
Hemm.. ternyata unsur dendam di dalam pengertiannya.
“Ya udah, terserah adek aja, yok kita pulang”
“Bang, adek beli ini satu ya!” ucapnya diperjalanan menuju meja kasir.
“Ya udah ambil.”
“Yang
ini juga ya, Bang! Yang ini juga, kemaren adek beli ini enak. Hmmm…,
ini satu juga ya. Yang ini juga deh, kayanya enak, Bang!”
Kaysan
mulai kalap dengan apa yang ada dihadapannya, sepertinya dia mulai
kehilangan kesadaran. Aku langsung membayar semua belanjaan dan langsung
menyeret Kaysan pulang sebelum minimarket ini pidah ke rumahnya.
“Udah jajan, ‘kan? Jangan nangis lagi ya! Oh ya dek, mana uang yang dikasih kawan abang tadi?”
“Adek taro di meja komputer, Bang!”
“Loh, kok ditaro di situ dek? Kalau hilang gimana?”
“Komputer aja, disitu dari sebelum Kaysan lahir sampe sekarang, gak hilang, Bang!”
Ahhhhh…,
sialan nih bocah, gak ada jawaban yang lebih enak lagi apa. Hampir aja
keluar nih ilmu ruqyah turunan kakek moyang. Pengen rasanya nukar roh
tuh bocah biar sesuai sama umurnya.
“Udah, dimakan aja esnya. Nanti keburu dingin lho!” ujarku padanya.
Tak ada perlawanan. Kulihat mulutnya belepotan es cream malang yang separuh tubuhnya telah hilang.
“Hemm… ini jauh lebih baik dek, sesuai dengan usia mu”pikirku.
Baru saja berpikir seperti itu, namun ternyata aku salah.
“Bang, nanti kalau disuguhin teh manis gak pake es, ditiup dulu ya. Soalnya itu panas!” ucapnya dengan wajah tak berdosa.
Medan, 28 Agustus 2014
Husni Mubarak